Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan
Dulu Aku banyak mendengar cerita dari kakak — kakak yang umurnya diatas aku kalau masa umur 20 tahunan itu merupakan masa — masa puncak sebagai anak muda. Bayangkan umur segitu kamu sudah mulai masuk ke dunia orang dewasa, yang ditandai dengan sibuk dengan tugas besar, minimal kerja praktek. Selain itu, mereka brainwash aku dengan anggapan kalo kamu sudah masuk umur 20 tahun berarti semua keputusan ada di tangan kamu. Bisa traveling sepuasnya, bisa pergi kemana — mana tanpa ijin ortu.
Aku yang waktu itu masih berumur 19 tahun hanya bisa iya — iyain aja. Saat itu juga aku sedang di semester 4 yang dimana mata kuliah di jurusan aku mulai menjurus dan susah. Saat itu juga aku lagi aktif — aktifnya sebagai anggota di AIESEC kampusku. Aku saat itu sedang menjalin hubungan (alias pacaran) dengan seseorang yang kebetulan adalah teman dekat aku. Aku berpikir waktu itu masuk umur 20 tahunan bakalan jadi orang keren…istilahnya sih gitu.
Akan tetapi, realita umur 20 tahunan tidak seindah dengan apa yang diomongkan oleh kakak — kakak tersebut. Mereka tidak bilang kalau 20 tahunan itu merupakan masa — masa paling bergejolak. Mereka tidak bilang kalau fase ini dituntut untuk cepat dewasa menghadapi segala perkara hidup, bahkan hal kecil sekalipun. Satu fase yang terkadang berat untuk dilalui sendirian. Satu fase yang seenggaknya harus dinikmati setiap detik. Mencari jati diri, mencari passion, dan mencari kerja.
Mencari pekerjaan tidak semudah yang dibayangkan. Butuh beberapa kali dulu untuk mengalami kegagalan, asalkan kamu tidak menyerah dengan kenyataan. Dengan status dan kondisi aku yang saat itu sedang labil, aku mencoba untuk melamar ke banyak perusahaan dengan harapan aku tidak akan membebani orang tuaku lagi. Ada satu harapan orang tuaku waktu itu. Mereka ingin salah satu dari kami bertiga ada yang melanjutkan kiprah ayahku sebagai orang yang kerja di perusahaan bagus. Memang terkesan kolot, akan tetapi setelah aku pikir lagi setelah beberapa tahun, mereka ada benarnya juga. Mereka tidak ingin anak — anaknya terjebak dalam ekonomi sulit dengan ketidakpastian dalam memilih pekerjaan.
Secara otomatis, yang jadi tumpuan terbesar adalah aku. Tetapi yang mereka tidak tahu adalah untuk mendapat panggilan tes saja butuh beberapa kali dulu sebelum akhirnya dipanggil. Belum lagi fase menunggu yang menyiksa. Ketika gagal, terkadang aku hanya menyalahkan diri aku sendiri. Memang periode tersebut diisi dengan hal lain, tapi hasrat untuk melepaskan diri dari orang tua secara finansial dengan adanya pekerjaan tetap sangat kuat. Pada akhirnya, di tahun 2018 aku akhirnya mewujudkan mimpi orang tuaku sekaligus mengakhiri pencarian kerja(tetap)ku selama 1,5 tahun dari 80 lamaran yang aku masukkan (aku tidak bercanda soal ini). Aku lepas kerjaan freelance sebagai independent contractor di salah satu perusahaan remote di US demi untuk mulai merintis karir sebagai budak korporat.
Sudah senang diterima kerja, aku masuk ke dunia baru, Dunia korporat. Aku dituntut untuk banyak berkomunikasi dengan banyak orang, sesuatu yang dulu aku susah untuk dilakukan karean aku sangat buruk dalam public speaking. Adaptasi harus cepat dengan tiap kerjaan ada deadline-nya sendiri. Semua itu terbayarkan dengan adanya gaji pertama. Tentu saja aku menggunakan gaji tersebut untuk mengajak orang tuaku untuk makan di luar. Waktu itu, gaji pertamaku sekitar 3 juta.
Sekarang, aku sudah mulai bisa mewujudkan mimpiku satu — satu, menyenangkan semua anggota keluarga aku, dan bisa membantu sedikit- demi sedikit perihal rumah. Kedua orang tuaku baik — baik saja. Mereka sibuk dengan toko yang mereka rintis dari 13 tahun yang lalu. Adikku sudah ada yang kerja dan sedang kuliah.
Aku sendiri? Mewujudkan mimpi aku untuk solo traveling ke berbagai tempat. Menghadiri konser idolaku yang bahkan diriku di umur 17 tahun waktu itu mengatakan hal ini mustahil. Bertemu orang — orang baru dan bisa ikut sertifikasi mandiri dengan uang sendiri. Semua itu membuat semua orang berpikiran kalo aku menjadi terlalu independent. Aku percaya aku di masa lalu tidak bakal memprediksi jalan hidupnya bakalan se-roller coaster ini. Kalau saja aku mengakhiri hidup waktu itu, aku ga bakalan menikmati hasil kerja keras aku selama ini.
Semua kesuksesan ini ada bayarannya. Kehidupan percintaan berantakan. Bahkan sudah lebih dari satu dekade semenjak terakhir kali aku menjalin hubungan dengan orang lain. Sejujurnya aku harus mengakui kalau saat ini aku sedang berkejaran dengan umur kedua orang tuaku. Apakah tahun ini akhirnya bisa terjadi? menjalin hubungan dengan lawan jenis? Only God knows.
Rencana aku kedepannya? Barangkali setelah melakukan solo traveling ke Eropa tahun ini, aku bakalan menata hidup aku dengan lebih mengatur cashflow secara saksama (pengalaman ke Singapore tahun ini yang berujung boncos karena ladenin oleh — oleh keluarga hahahaha). Barangkali aku akan memikirkan untuk melakukan treatment botox. Mengatur pola makan dan olahraga sering jadi prioritas juga.
Aku menyadari kalau anggapan umur 20an itu adalah puncak dari masa muda. Aku salah dengan hal tersebut setelah melakukan solo traveling. Ada banyak orang yang memulai masa mudanya ketika masuk umur 30an, 40an, atau bahkan 50an. Melakukan hal — hal baru akan membuka persepktif baru dan keluar dari gelembung dunia sendiri. Aku juga menyadari dalam beberapa waktu ini kalau menikah tidak seseram yang aku bayangkan…….kalau ketemu dengan orang yang tepat. Karena umurku akan nambah, barangkali aku bakalan mulai memikirkan kesitu (tapi tetap masih milih juga)
Masa depan tidak ada yang tahu. Bisa jadi tahun ini gue malah switch career ataupun mendapat kerjaan baru. Ketemu orang baru yang ternyata adalah jodoh yang selama ini aku cari. Atau dapat durian runtuh, kayak duit segepok kali hahahaha.
Aku mulai menulis postingan Birthday Eve di tahun 2018. Barangkali ini menjadi postingan Birthday Eve paling emosional yang pernah aku tulis. Aku tidak tahu rencana Tuhan bagi aku bagaimana untuk kedepannya, akan tetapi untuk saat ini, aku akan terus bekerja keras untuk diriku dan masa depanku. Meskipun badai dan tsunami menghantam, semoga diriku akan tetap kokoh, sekokoh beton yang tertancap di pinggir pantai sebagai penangkal tsunami (tsaaaaah…)
I’m not ready to say goodbye to my 20s, but, hey, Life must go on